Hwah….. ku hembuskan nafasku
dengan berat. Masih terngiang di telingaku kata-kata kakakku semalam. “Tik, di
Tanggerang,dekat kos-an nya kakak, ada sekolah Madrasah Aliyah Negeri. Kualitas
sekolahnya jangan ditanya, bagus banget. Gratis pula. Kamu bisa meringankan
beban ayah kalau sekolahmu gak bayar. Udah gak bayar,kualitas tinggi pula.
Jangan ngelewatin kesempatan emas seperti ini.” Semalam,kakakku berusaha
panjang lebar untuk meyakinkanku untuk mengikuti tes masuk sebuah MAN Unggulan,
MAN Insan Cendekia. Bingung jadinya aku. Pasalnya,aku kemarin baru saja
diberitahu kalau aku lulus tes tertulis SMAN 1 Unggulan Bangka Belitung. Di
situ sekolahnya juga gratis. Tapi,ayahku beralasan lain. “gak Cuma biaya yang
kita utamakan,tapi juga kualitas. Dan kualitas yang harus paling diutamakan
adalah kualitas agamanya. Kamu yang berlatar belakang MTs, lebih cocok kalau
masuk ke Madrasah Aliyah. Sia-sia khan pelajaran agamamu di MTs gak kepake lagi
kalau kamu sekoalh di SMA.” Ucap ayahku semalam selepas menerima telepon dari
kakakku. ‘ gak ada salahnya mencoba. Gak
ada ruginya juga. Kalau dapet yah bersyukur. Gak dapet, gak apa-apa lah.
Namanya juga mencoba.’ Pikirku.
Hari ini aku harus pergi ke
sekolah. Pasalnya,semua persyaratan untuk mengikuti tes administrasi di MAN
Insan Cendekia paling lambat harus dikirim ke kakakku 3 hari lagi. Aku mesti
buru-buru. Soalnya, yang aku denger, pak kepala sekolah MTs ku akan bepergian
ke luar kota dalam minggu ini. Aku malas sebenarnya untuk pergi ke sekolah
soalnya tidak ada lagi pelajaran ketika habis ujian. Tapi tak apalah, demi bisa
melihat tempat yang bernama Jakarta, aku rela kalau Cuma harus pergi ke
sekolah. Ke Jakarta,koq? Ya,soalnya kata kakakku,dikarenakan dari Bangka
Belitung pesertanya Cuma daku seorang, maka untuk mengikuti tesnya,aku harus
pergi ke Kampus MAN IC. Itu juga kalau lulus tes administrasinya.
Setibanya di sekolah,aku langsung
menuju ke ruangan Pak Kasiwandi, kepala sekolah MTs ku. Untunglah, beliau ada
di ruangannya. “wah,Tika. Tumben banget ke sekolah. Ada apa nih? Kayaknya
penting banget sampe kamu bela-belain ke sekolah.” Ucap Pak Kasi setelah
menjawab salamku. Aku tersipu malu mendengar sindiran tidak langsung Pak Kasi,
karena aku memang yang paling jarang datang ke sekolah setelah ujian. Kuambil
kursi di depan Pak Kasi lalu kujelaskan maksudku menemui beliau pagi ini.
Beliau meminta brosur sekolah itu. Beliau membacanya dengan antusias. “wah,ini
baru sekolah bagus. Bapak setuju banget kalau kamu melanjutkan ke sekolah itu.
kamu ke sini untuk melengkapi persyaratan-persyaratan ini, khan? Oh ya,apa kamu
ingin berkas-berkas ini diketik ulang? Biar bapak suruh Bu Reni untuk
mengetikkannya untukmu. Kamu pasti memerlukan materai juga, khan? Kebetulan
bapak punya banyak cadangan materai. Kamu tinggal sebutkan berapa buah yang
kamu perlukan. Kamu tunggu aja di perpustakaan. Kamu kembali ke sini pukul
11.00 WIB nanti. Bapak jamin, semua
berkas ini tinggal kamu ambil dan kamu lengkapi. Okey?” Hah……. Aku kaget
bercampur senang mendengar respon Pak Kasi atas rencanakui untuk mendaftar di Insan Cendekia. Segera
kusambut tawaran beliau. Aku pun pamit
untuk menunggu di perpustakaan.
Tepat pukul 11.00 WIB, aku
kembali ke ruang Kepala Sekolah. Rupanya beliau sudah pergi ke kabupaten. Yang
ku temui Cuma Bu Reni yang sedang mengetik. “oh ya Tika,tadi Pak Kasi pamit.
Dia mohon maaf tidak bias menyerahkan langsung. Ini berkas-berkasnya. Insya
Allah sudah lengkap semua.” Kuterima berkas-berkas itu dari Bu Reni. Ku periksa
kembali berkas-berkas itu, takut ada yang kurang atau ketinggalan. Setelah
kurasa semua telah beres, aku pun pamit pada Bu Reni. Ku langkahkan kaki keluar
pagar sekolah dengan hati yang lega. Tinggal melengkapi foto dan tanda tangan
orang tuaku. Huah….. hatiku benar-benar lega. Jalanku dimudahkan oleh Allah.
Kumasukkan buku-buku yang mungkin
kuperlukan untuk belajar menghadapi tes masuk MAN Insan Cendekia ke
dalam koper. Yah… 4
hari yang lalu,aku mendapat kabar dari kakakku kalau aku lulus tes administrasi
di MAN itu. Aku senang. Jujur, aku senang karena aku bisa jalan-jalan
ke Jakarta. Bukan karena aku bisa
lulus tes tersebut. Aku pikir, aku yang berasal dari sekolah kampung biasa,mana
sanggup dan pantas untuk masuk ke sekolah se-istimewa Insan Cendekia. Jadi, aku
tak pernah berfikir untuk bisa sekolah di sana. Lain halnya dengan keluargaku.
Semua sangat senang mendengar kalau aku lulus tes administrasi. Terutama
ayahku. Setelah mendapat kabar kalau aku harus pergi ke Jakarta besok untuk
mengikuti tes karena lusa tes tertulis akan dilaksanakan di Kampus IC, ayah
segera pergi ke Kota untuk membeli tiket pesawat untukku. Padahal jarak antara
desaku dengan Pusat Kota lumayan jauh,tapi ayahku rela menempuh jarak sejauh
apapun demi mewujudkan cita-citaku dan cita-citanya; menjadikanku manusia yang
membanggakan. Duh ayah, love you forever.....
Kurebahkan
badanku ke kasur di kamar
kost kakakku. Capek sekali rasanya badanku. Setelah menempuh perjalanan 1 jam
di pesawat, akhirnya aku sampai juga di Bandara Soekarno Hatta. Aku mengantre
lama sekali untuk mengambil koper. Maklumlah,ini kali pertamanya aku bepergian
naik pesawat. Sendirian pula. Benar-benar melelahkan. Dan merepotkan tentunya.
Aku dijemput
kakakku laki-lakiku lalu aku pun diantar menuju kost kakak perempuanku. Setelah
tiba di kost kakakku, Kak Said, kakak laki-lakiku tidak langsung kembali ke
kost nya. Dia janji akan mengajariku guna mempersiapkan diri untuk tes besok.
Aku diajari berbagai pelajaran yang mungkin tidak aku dapatkan di MTs. Kak Said
mengajariku sampai pukul 21.00 WIB. Lalu kami makan malam bersama-sama sebelum
kakakku kembali ke kostnya.
Ku tatap gedung-gedung yang
berdiri tegak di depanku. Yah… inilah Insan Cendekia. Bentuk atap gedungnya
aneh, tak pernah kulihat sebelumnya. Luas sekali sekolah itu. Aku sampai
bingung gerbang keluarnya dimana. Benar-benar sekolah yang luar biasa. Di
hadapanku puluhan bahkan ratusan orang yang juga bertujuan sama denganku;
mengikuti tes sekolah ini dan menaklukkannya. Di benakku Cuma tercetak kata
LUAR BIASA…………….
Kutunggu kakakku yang sedang
bertanya kepada resepsionis. Setelah urusannya selesai, dia menyuruhku untuk
mengikutinya. Kami melewati berbagai gedung dan puluhan anak seusiaku yang berseliweran entah mengerjakan apa. Ketika
tiba di ruang tes-ku,ku lihat sudah banyak orang yang sedang menunggu tes
dimulai. ‘Mereka semua kelihatannya para
siswa-siswi yang berotak encer. Apa bias aku mengalahkan mereka?’ pesimisku
timbul kembali.
Setelah menunjukkan letak tempat
tesku, Kak Said menunjukkan jalan menuju masjid. Wah… masjidnya pun gagah nian.
Terkagum-kagum aku dibuatnya. Setelah melaksanakan sholat dhuha, kulanjutkan
dengan sholat hajat. Bagaimanapun, aku juga ingin masuk ke sekolah ini untuk
membahagiakan orang tuaku. Aku berdo’a
semoga Allah memudahkan jalanku.
Setelah selesai sholat, aku
kembali ke kelas tempat tesku. Kakakku sendiri sudah pergi ke kampusnya. 10
menit lagi tes akan dimulai. Aku deg-degan. Disaat yang lain sibuk belajar aku
malah sibuk menikmati pemandangan IC.
Bel tanda tes akan dimulai
berbunyi. Kuucapkan bismillah untuk semua yang akan kulakukan hari ini.
Kuyakin,doa ayah ibuku selalu menyertaiku. Dan Allah akan ridho atas itu.
Kutatap mentari pagi dari jendela
kamar hotelku. Sudah 3 hari ini aku mengikuti lomba MTQ di kota. Sudah 3 minggu
sejak tes masuk Insan Cendekia berlalu. Hatiku deg-degan tak karuan mengingat
aku mengisi jawabannya semampuku saja. Rasanya, sehabis tes kemarin adalah saat
terakhir aku akan melihat Jakarta. Tak mungkin aku bisa diterima di sana.
Kulangkahkan kaki keluar kamar.
Kuajak teman sekamarku ke restoran untuk sarapan. Setelah tiba di restoran,
kami segera mengantre untuk mengambil jatah sarapan. Tiba-tiba ada yang menepuk
bahuku. Rupanya Bu Lidya, peserta bidang Qiraat Sab’ah. “Kenapa,Bu?” Bu Lidya
menunjuk kea rah Pak Saefudin, pendamping kami. Itu artinya aku sedang dicari
oleh Pak Saefudin. Setelah mengambil makanan, kudekati Pak Saefudin. “Tika, apa
benar nama panjangmu Ita Rahmatika? Apa kamu mengikuti tes masuk SMA 1 Unggulan
Bangka itu?” aku heran dengan pertanyaan Pak Saefudin. Kujawab iya. Pak
Saefudin malah mengucapkan selamat padaku. Aku heran. Lalu beliau menyerahkan
Koran yang ada di tangannya padaku. Kubaca. Ya Allah. Maha Suci Allah.
Alhamdulillah. Namaku terpampang menjadi salah satu dari 70 orang yang
beruntung bisa masuk ke SMA itu setelah melalui 3 proses; tes administrasi, tes
tertulis, dan tes psikologis. Aku bersujud syukur saking senangnya. Saat aku
bersujud syukur, hand phone ku berbunyi. Kulihat yang menelpon. Kak Said.
Kutekan OK. “Assalamualaikum dek, nomor tes mu waktu tes di IC berapa?”
Kujawab” 1403xxx, emangnya ada apa kak? Udah ada pengumuman hasil tesnya?”
Dadaku berdebar-debar. “beneran gak nomormu yang itu. Entar salah lagi.” Dengan
gemas kujawab kalau aku hapal nomor tesku. Kalau tidak percaya, kusuruh kakakku
menelpon ke rumah untuk memastikannya. “ kamu percaya tidak kalau kamu bisa
lulus tes IC?” Ada apa lagi dengan kakakku ini. Pertanyaannya gak penting
banget. “ yah, gak percayalah. Wong aku ngerjainnya asal-asalan koq.” Kujawab
hal yang semestinya kujawab. “kamu tu lulus tau tes di IC.” Ku tau kakakku ini
sedang bercanda. “Kak, kalau mau ngehibur aku karena aku gak lulus tesnya, gak
usah pake acara bohong-bohong segala deh. Aku gak bakal sedih koq. Wong aku
keterima lho, di SMA 1.” Kuakui meskipun aku berkata demikian, tetap ada rasa
sakit dan kehilangan tidak bisa diterima di IC. “wah bagus banget nasibmu hari
ini. Kamu lulus tes dua-duanya. Kalau kamu gak percaya,Tanya aja ke ayah
nanti.” Ujar kakakku sebelum menutup telponnya.
Sorenya, ayahku datang menemuiku.
Beliau datang dengan senyum seindah mentari. Segera kucium tangannya setelah
mengucap salam. “Tik, nikmat Allah itu emang gak ada batasnya. Kamu harus selalu
bersyukur atas apa yang Allah berikan sama kamu. Termasuk nikmat kamu di hari
ini. Tahu gak, tadi Pak Kasi menelpon ayah. Pak Kasi mendorong ayah untuk
membujukmu untuk memilih MAN Insan Cendekia. Jujur, ayah sangat ingin kamu ke
sana. Gak Cuma ayah juga sih, tapi hampir semua keluarga kita ingin kamu
menerima kesempatan sekolah di Insan Cendekia. Gimana Tik? Kamu istikharah saja
biar pilihanmu nanti benar-benar diridhoi Allah dan kamu gak akan menyesal
nantinya.” Aku tak menyangka, kabar diterimanya aku di dua sekolah yang
bergengsi itu telah menyebar ke seantero desa. Huh…. Aku bingung banget
jadinya. Mumet pikiranku. Di satu sisi, aku ingin membahagiakan keluargaku
dengan masuk ke Insan Cendekia. Tapi di sisi lain, aku juga telah lama
memimpikan untuk bisa masuk ke SMA 1. Duh…. Bingung. Benar kata ayah. Semua
masalah akan selesai dengan istikharah.
Akhirnya, setelah menjalani
istikharah dan dengan dorongan dari semua orang, kumantapkan hatiku untuk
mengambil kesempatan di Insan Cendekia. Kucoba mantapkan langkah, kucoba
tetapkan hati, agar aku bisa bertahan di sana. Sedih rasanya harus jauh dari
Pulau Bangka yang sangat aku sayangi ini dan tentu saja, berat rasanya hati
untuk jauh dari keluargaku terutama ayahku.
Tapi entah kenapa, disaat aku
menyatakan kesanggupanku menerima Insan Cendekia, cobaan bertubi-tubi
menderaku. Tiket pesawat yang habis terjual di semua hari di liburan ini. Tidak
tersisa satupun. Padahal 1 minggu lagi
aku harus sudah berada di kampus MAN Insan Cendekia. Sedangkan barang-barang
yang aku perlukan belum kubeli semua. Aku stress. Ditambah sekitar 2 minggu
yang lalu, pihak Insan Cendekia mengirimkan surat bahwa aku belum melengkapi
persyaratan dalam tes kesehatan yaitu hasil rontgen. Padahal semua data dari
rumah sakit kukirimkan semua. Pihak Insan Cendekia bilang kalau aku tidak bisa
masuk ke Insan Cendekia kalau syarat yang itu dilengkapi. Aku pusing tujuh
keliling. Masak aku harus rontgen lagi, padahal biaya rontgen di rumah sakit
umu di Bangka sangat mahal. Aku pun segera menghubungi kakakku. Kakakku pun
segera mengurus semuanya. Rupanya data-data itu terselip. Hah… yah.. itu mungkin Cuma kejadian biasa. Tapi itu
cukup memukulku. Aku jadi merasa kalau pilihanku salah. Itu benar-benar menjadi
beban fikiranku. Ya Allah, tolong mudahkan jalan yang menurut Engkau baik untuk
aku jalani. Amin….
Ku usap peluh yang membasahi
dahiku. Ku coba mengingat kira-kira barang apa yang belum aku masukkan ke dalam
koper dan kardus. Setelah yakin kalau semua sudah lengkap, ku seret koperku ke
ruang tengah. Yah… 5 jam lagi aku akan meninggalkan Bangka. Tiket kapal laut
telah ayahku dapatkan kemarin. Meskipun aku harus naik kapal laut yang memakan
waktu sehari semalam untuk tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, tak apalah. Karena 3
hari lagi adalah hari pertama masuk ke IC sekaligus pendaftaran ulang. Dan
kalau aku tidak tiba di IC sesuai waktunya, maka secara otomatis semuanya pun
batal. Jadi, tidak apa-apa lah kalau naik kapal laut, yang penting selamat dan
tepat waktu sampai di tujuan.
Menurut keterangan yang ada di
tiket, aku harus cek ulang pada pukul 16.00 WIB. Kapal akan berangkat
pukul 17.30 WIB. Karena jarak dari
rumahku ke pelabuhan sangat jauh, kira-kira memakan waktu 2 jam, maka aku harus
berangkat pukul 13.00 WIB dari rumah. Untung saja semua barang-barang yang akan
ku bawa telah kupersiapkan jauh-jauh hari.
Kutatap jam dinding di kamarku.
Sudah pukul 11.00 WIB. Aku harus segera mandi dan bersiap-siap. Kulihat
adik-adikku yang akan mengantarku ke pelabuhan juga sudah sibuk memilih baju
yang ingin mereka pakai. Rencananya,ayahku akan menyewa dua mobil untuk
mengantarku ke pelabuhan. Adik-adik dan sepupu-sepupuku berebutan untuk
mengantarku. Maklumlah, karena aku adalah sepupu yang paling dekat dengan
semuanya.
Kumasukkan kardus terakhir bawaanku ke mobil.
Semua sudah siap berangkat. Kami memulai perjalanan dengan doa safar.
Kupandangi rumah dan desaku
dengan perasaan yang sukar dijelaskan. Di dekat taman depan rumahku, kulihat
sahabatku menatap mobilku dengan tatapan yang sukar diartikan. Tanpa sadar,ku
menitikkan air mata. Seakan-akan aku tidak akan pernah melihat semua ini lagi.
Di tengah perjalanan, kami
singgah di supermarket untuk membeli bekal untuk dimakan di kapal nanti. Agar
waktunya tidak banyak terbuang, anak-anak kecil dilarang turun dari mobil
karena jika anak kecil masuk ke supermarket maka akan susah untuk mengendalikan
mereka dalam membeli sesuatu. Dan itu pasti akan memakan waktu lama. Tapi,
dasar anak-anak keras kepala, mereka memaksa untuk masuk ke supermarket. Tidak
ada yang bisa menghentikan tingkah mereka. Jadilah, waktu banyak terbuang di
supermarket.
Kami baru melanjutkan perjalanan
lagi pukul 15.00 WIB. Padahal jarak antara supermarket ke pelabuhan masih jauh.
Aku mulai gelisah. Aku takut tertinggal kapal. Aku terus berdoa dalam hati
semoga itu tidak terjadi.
Pukul 16.30 WIB, kami tiba di
pelabuhan. Dengan buru-buru aku dan ayah menuju ke tempat pengecekkan tiket.
Tapi ternyata, loket itu sudah tutup. Ayah pun segera bertanya kepada seorang
ibu yang sedang berjualan di depan loket itu. “Bu, kemana nih, orang yang
jagain loket pengecekan tiketnya? Koq gak ada?” Tanya ayahku. “Wah Bapak, ini
mah udah jamnya tutup, Pak. Kan kapalnya udah berangkat tadi.” Jawab ibu itu
sambil menatap aku dan ayah bergantian. Aku seakan mendengar petir di siang
bolong. Tubuhku lemas seketika. Aku tak dapat menahan air mataku. Aku pun
menangis tersedu-sedu. Para kerabat yang mengantar kami, menghampiri kami.
Mereka heran melihat tampang ayah yang kusut dan aku yang berlinangan air mata.
Mereka bertanya apa yang terjadi. Ayah menjelaskan semuanya.
Tiba-tiba datang seorang bapak
bertubuh gempal mendekati ayah. Rupanya, dia adalah orang yang menjaga loket.
Dia mengatakan bahwa ada kapal laut yang berangkat malam ini ke Jakarta, tapi
kemungkinan besar akan singgah lebih dulu ke Belitung dan itu akan memakan
waktu 2-3 hari. Aku tidak mungkin naik kapal itu, karena 3 hari lagi kau harus
sudah tiba di IC.
Lalu bapak itu menawarkan
alternatif yang lain, yaitu naik kapal yang berangkat besok pagi dan bisa
dipastikan Cuma memakan waktu 19 jam untuk tiba di Jakarta. Kuterima tawaran
yang satu ini. Akhirnya kami kembali ke rumah dan akan kembali lagi besok pagi
Kutatap lautan lepas dari bagian
dek kapal. Sudah 13 jam kami terombang-ambing di lautan. Hari ini hari jumat.
Dan besok aku sudah masuk ke IC. Rasanya sudah tidak sabar untuk menjadi bagian
dari Insan Cendekia.
Menurut sang informan kapal,
kapal akan melempar sauh pukul 13.00 WIB nanti. Itu artinya masih sekitar 3 jam
lagi aku harus menikmati pemandangan laut yang membosankan ini.
Sudah pukul 13.30 WIB, namun
tanda-tanda kapal akan merapat belum tampak. Aku mulai kesal. Aku sudah tidak
kuat berada di kapal ini. Bau pesing, bau muntah membuat perutku mual tidak
terkira.
3 jam kami menunggu di dekat
pelabuhan dan awak kapal belum juga melempar sauh. Di tengah ketidaksabaran
itu, terlintas lagi perasaan kalau aku telah salah memilih IC . Buktinya banyak
sekali cobaan yang aku dapatkan ketika menetapkan pilihan ke IC. Tapi segera
kutepis semua perasaan itu. Aku harus yakin, Allah menunjukkan jalan yang
terbaik yang harus aku jalani.
Akhirnya kapal merapat juga. Para
penumpang berebutan untuk turun. Begitu juga aku dan ayahku. Setelah tiba di
bagian luar pelabuhan, ayahku segera mencari taksi untuk menuju kost kakakku.
Ku seka air di wajahku. Kantukku
masih terasa. Maklumlah, aku baru tiba di kos-kosan kakakku pukul 19.00 WIB
malam. Setelah istirahat sebentar, aku diajak kakakku ke pasar untuk membeli jilbab.
Kembali lagi ke kost pukul 22.00 WIB. Aku benar-benar capek. Setelah tiba, aku
tidak langsung tidur. Aku membantu kakakku menyiapkan barang bawaanku untuk
besok. Aku baru tidur pukul 2.00 WIB. Dan aku harus bangun pukul 04.00 WIB,
untuk mandi dan bersiap-siap. Pukul 06.00 WIB, Kak Said akan menjemput aku,
ayah, dan Kak Iroh dengan taksi
sewaannya. Perjalanan dari kost Kak Iroh menuju IC memakan waktu 1 jam
perjalanan kalau tidak terjebak macet.
Aku harus tiba di IC pukul 07.00
WIB untuk mendaftar ulang. Di sepanjang perjalanan, aku pun tidur dengan
nyenyaknya.
Perpisahan itu sangat
menyakitkan, meskipun kita telah menyiapkan hati untuk menerima itu. Aku tak
kuasa menahan tangis ketika ayah memelukku sebelum aku masuk ke dalam asrama.
Ayah menyampaikan wejangan-wejangan khasnya. Aku terdiam. ku tatap mata ayahku.
Oh ayah, demimu, aku akan berusaha di sini dan menjadi yang terbaik.
Masa-masa PTS An-Nahl yang melelahkan sudah berakhir. Acara ditutup
setelah Long March. PTS yang sangat seru dan melelahkan. Aku sangat menikmati
masa-masa yang cuma 1 minggu ini. Setelah PTS ditutup, hampir semua anak
angkatan 16 menyerbu KOPINMA. Maklumlah, selama PTS, siswa baru dilarang jajan
atau membeli sesuatu. Aku bersama semua anak kamarku pun ikut menyerbu KOPINMA.
Kami membeli berbagai keperluan. Setelah selesai membeli, kami segera kembali
ke kamar. Cucian menumpuk telah menanti kami.
Kutatap semua anak kelasku. Kelas
X-2. Setelah seminggu masa percobaan atau matriks, akhirnya aku punya kelas
juga. Semua yang ada di kelas ini akan menemani aku selama 1 tahun ke depan.
Kami pun saling memperkenalkan nama masing-masing berikut asalnya. Banyak
sekali tipe orang yang ku temukan di kelas ini. Tapi aku yakin,
perbedaan-perbedaan itu pasti malah akan mempersatukan kami. Kami pasti akan
menjadi kelas tersolid selamanya.
Kuhembuskan nafas yang terasa
sangat berat ini. Sudah 3 bulan aku di Insan Cendekia. Aku pun mulai dapat
menyatu dengan kehidupan khas Insan Cendekia. Tidak ada orang yang tidak pernah
remedial. Hidup di IC tanpa remedial bagaikan minum kopi tanpa gula. Pahit dan
terasa hambar. Namun, jika gulanya kebanyakan, malah akan sangat tidak enak.
Yah, seperti itu juga hidup di IC. Kalau gak pernah remed, hidup di IC terasa
hambar. Tapi kalau kebanyakan remed, stressnya gak ketulungan. Stress karena
pelajaran bagaikan bumbu kehidupan di IC. Stress lah yang kurasakan sekarang.
Bayangkan, di MTs aku yang jarang remedial waktu MTs, di sini aku bahkan hampir
selalu remedialm di setiap UH. So pasti, ini semua membuat aku stress. Begitu
juga dengan sebagian temanku. Tapi, meskipun begitu, aku tetap optimis. Aku
pasti bisa bertahan di Insan Cendekia sampai wisuda dengan nilai terbaik.
Buktinya saja, kakak-kakak kelas bisa bertahan di sini. Dan semuanya hidup
dengan bahagia di IC. Masak aku tak bisa seperti mereka. Ya Allah, kabulkanlah
doa hamba ini. Amiiiinnn......
IC adalah babak baru dalam
hidupku. Di IC, aku mengenal berbagai macam hal yang tidak akan aku ketahui di
luar Insan Cendekia. Jujur, kuakui, sebelum masuk IC, aku adalah seorang
muslimah yang tomboi. Aku lebih banyak bergaul dengan para lelaki ketimbang
bergaul dengan perempuan. Di IC aku sadar, antara laki-laki dan perempuan itu
ada batasan bergaulnya. Rasanya, masa sebelum aku masuk IC adalah masa
jahiliyahku. Dan di IC, aku diajari untuk keluar dari kejahiliyah-an itu. Aku
sangat bersyukur masuk ke Insan Cendekia. Insan Cendekia adalah tempatku 'tuk
kembali ke jalan-Nya.
kulangkahkan kaki menuju gerbang
MAN Insan Cendekia. Aku baru saja kembali dari liburan semester 1. Alhamdulillah,
nilai raport semester 1 ku tidak jelek tapi gak bagus-bagus amat sih.
Lumayanlah, setidaknya nilai raport ini bisa memberi dukungan untuk diriku
sendiri kalau aku pasti bisa bertahan di IC. Kulangkahkan kaki memasuki Kampus
MAN Insan Cendekia. Tapi, langkah kakiku berbeda dengan langkah kaki ketika aku
baru masuk ke IC. Langkah kaki kali ini kuiringi dengan kemantapan hati dan
senyum pasti serta keyakinan yang menggebu-gebu di dada. Keyakinan bahwa IC
adalah babak baru dalam hidupku dan harus aku jalani dengan sepenuh hati.
Bagiku, Insan Cendekia adalah sekolah terbaik, pesantren terbaik, dan tempat
terbaik. Dan aku yakin, aku akan di sini bersama ke 119 temanku sampai wisuda
nanti. Dan Allah pasti meridhoi jalan kami karena langkah kami pun diiringi doa
dari semua orang. Amiiinn Ya
Rabbal'alamin......